Mahasiswa Unnes Makan Nasi, Bukan Semen

Unes SEMARANG — Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM Unnes) menyelenggarakan acara nonton film Samin Vs Semen dan diskusi “Kami Makan Nasi, Tak Makan Semen” di Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas (PKMU), Senin (16/Maret). Lewat acara itu, mereka bertujuan memberi pemahaman kepada mahasiswa tentang permasalahan di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, akibat pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara.


Acara itu merupakan agenda BEM KM Unnes untuk berkontribusi dalam perlawanan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara, seperti dilakukan kawan-kawan komunitas atau perorangan di berbagai daerah. Acara dihadiri lebih dari 80 orang mahasiswa dari berbagai fakultas itu, dengan pemantik diskusi Gunawan Budi Susanto yang akrab disapa Kang Putu.

 Sebelum diskusi, acara awali dengan pembacaan puisi oleh Indah Zuliana, mahasiswa Sastra Indonesia Unnes. Lalu, Kang Putu memaparkan persoalan yang dihadapi warga Desa Timbrangan dan Tegaldawa, Kecamatan Gunem. Dia, antara lain, menyatakan sampai hari ini sudah hampir 300 hari para ibu kedua desa itu hidup di tenda darurat di hutan kawasan Gunung Bokong. Mereka menuntut pembangunan pabrik semen dihentikan. Jika pembangunan pabrik itu berlanjut niscaya bakal menghancurkan lahan pertanian dan kawasan lindung geologis Pegunungan Kendeng Utara.

 Sesi tanya-jawab berlangsung secara hidup. Mahasiswa antusias bertanya dan berpendapat. Pertanyaan pertama dilontarkan Umar Hidayatullah. Mahasiswa Sosiologi dan Antropologi itu mempertanyakan bagaimana peran kaum laki-laki ketika para perempuan bertahan di tenda perjuangan yang berlangsung hingga hari ini. Kang Putu menjawab, “Peran laki-laki dalam penolakan pabrik semen adalah sebagai penyupai bahan makanan kepada ibu-ibu yang bertahan di tenda perjuangan. Mengapa yang tinggal di tenda, melawan tanpa kekerasan, adalah ibu-ibu? Karena, ibu-ibu atau para perempuan itu memiliki daya rasional tinggi. Jika yang bertahan di tenda adalah kaum laki-laki, bisa jadi akan sering terjadi adu fisik antara mereka dan polisi yang berjaga. Para lelaki lebih mudah terpancing tindak kekerasan. Dan, bila itu terjadi amat mudah mengkriminalisasi mereka.”

 Kang Putu menambahkan, “Aksi dan tindakan para ibu dari lereng Pegunungan Kendeng Utara itu merupakan satu-satunya di dunia. Ya, mana ada gerakan sekelompok perempuan yang rela meninggalkan rutinitas rumah tangga masing-masing untuk berjuang mempertahankan tanah dan air mereka sampai 272 hari? Tidak ada di dunia ini, kecuali di Rembang!”

Kenyataan itu, ujar dia, mengetuk hati kalangan mahasiswa dan kalangan umum di masyarakat di berbagai kawasan. Mereka pun kemudian terlibat kampanye penolakan pembangunan pabrik semen. Diskusi tetap berlangsung ketika listrik mati. Justru banyak mahasiswa makin antusias dengan bertanya dan mengemukakan pendapat.

 Dewi Maghfiroh, misalnya. Dia menyatakan semua butuh semen. Bangunan untuk diskusi itu pun terbuat dari semen. Dia meminta mahasiswa mempertimbangkan idealitas dan realitas secara seimbang dan bervisi jangka panjang. Karena itu, dia mengimbau sikap kritis mahasiswa tak berhenti hanya pada penolakan pabrik semen. Namun berlangsung terus-menerus dan menyoal banyak permasalahan lain di kawasan dan lapangan hidup yang lain pula.

Menanggapi pernyataan itu, Kang Putu menjawab, “Memang benar kita butuh semen. Namun kita lebih jauh membutuhkan nasi. Itu jika semen dan beras diperhadap-hadapkan secara diametral. Penolakan pabrik semen di Rembang berlangsung karena semen dibenturkan dengan pangan dan penghidupan warga Tegaldawa dan Timbrangan, Gunem, Rembang. Bahkan sekarang pemerintah lebih memilih mengimpor beras daripada semen. Saya sepakat, perjuangan ini seyogianya tidak berhenti hanya pada penolakan pabrik semen, yang dibenturkan dengan pangan. Tidak berhenti sampai hari ini saja.”

Dalam diskusi lebih dari dua jam itu, peserta sepakat hendak mengadakan safari pergerakan ke tenda perjuangan para ibu di Rembang. Koordinator aksi Hanendya D.R.R. siap mengkoordinasikan kegiatan itu sebagai wujud empati mahasiswa universitas bersemboyan konservasi itu.

“Dalam pembangunan pabrik semen, pemerintah seharusnya mendengar dan bertindak sebagaimana dikehendaki kawan-kawan di berbagai daerah, termasuk Semarang, Yogyakarta, Pati, Rembang, yang menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara. Pemerintah selayaknya punya hati, sehingga bisa merasakan dan mengerti apa dilakukan oleh ibu-ibu yang bertahan di tenda perjuangan lebih dari 270 hari,” tutur Gunawan, mahasiswa semester dua asal Rembang.

Menjelang tengah malam, diskusi diakhiri dengan pembacaan puisi “Dendang Perlawanan” oleh Kang Putu. Acara itu merupakan penegasan bahwa mahasiswa Unnes masih makan nasi. Bukan makan semen. Itu mencerminkan komitmen mereka untuk peduli dan terlibat dalam penyelesaian problem kehidupan di masyarakat. Mahasiswa bertekad tidak menjadi makhluk yang mengasingkan diri di tengah kehidupan nyata.***

• Exsan Ali Setyonugroho, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes, Menteri Kajian Kebijakan Strategis BEM KM Unnes

One thought on “Mahasiswa Unnes Makan Nasi, Bukan Semen

Add yours

  1. Semoga ada penyelesaian yang berpihak kepada masyarakatnya nih. Emang siapa yang mau makan semen? yang ada bakalan mati semua orang…

    Like

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑