Gie dan Jody

“Gi, menurutmu hidup itu apa sih?” tanya Jody sambil memamah jagung bakar di tangannya.

“Gila lu Jod. Masih sore udah ngasih pertanyaan filosofis begitu.”

Dahi Gisela mengernyit tajam mendengar pertanyaan Jody. Ia memilih diam sembari pula memipil jagung bakarnya. Suasana menjadi hening. Hanya kecipak dari mulut keduanya yang terdengar, disisipi suara angin yang berhembus. Dingin! Jody menengguk kopi hitam tanpa gula di mug gemuknya. Lalu kembali memamah jagungnya.

“Jod, btw gimana kuliah lo? Gue udah PPL kemarin. dan i decided to volunteer every Saturday di sekolah juga.”

“Hoby banget kita soal volunteer…,”

“Gue ga bisa ngelepas anak-anak gitu aja, Jod.”

Gi membenarkan ikatan rambutnya. Jodi menaikan relseting jaketnya.

“Gue bukan orang kaya. Hidup sederhana. Sering utang kalau memang tidak cukup.” sambung Jody
“Haelah. Semua juga gitu,Jod. Lagian apa hubungannya coba dari volunteer dengan utang, hidup sederhana.”

Gadis berkulit sawo matang ini memang acapkali kritis saat berdiskusi. Dan itu yang membuat Jody–pemuda yang sepanjang hidupnya menempuh pendidikan yang tak kunjung usai–suka bertukar pandangan dengannya.

“Oh ya Gi, gue tadi pagi dichat seseorang gitu. Isinya tuh motivasi gitu. Bagus.”

“Lu kenal sama orangnya?”
“Kenal baik sih enggak. Cuman gue pernah nyampein terima kasih karena beliau pernah memposting cerita yang bagus. Otomotis gue kepo dong. Gue cari lagi tuh potingan beliau yang lain. Semua yang di share beliau itu positif.”

“Emhh. Bagus dong.”

“Dan gue terkejut ‘kan beliau kirim chat itu ke gue.”

Jody bangkit menuju pagar yang membatasi dirinya dengan jurang di depannya. Membuang jauh pandangannya ke depan. Seperti sengaja melangitkan kegelisahan hidup yang selama ini bersemayam.

“Gue heran aja, Gi. Ada orang yang dengan rela hati berbagi catatan ke gue hanya karena gue mengucapkan terima kasih karena kebaikan yang dilakukannya sendiri.”

Gi bangkit menuju Jody sembari membawakan kopi panas ke dua.

“Iya Jod. dan lu pasti mempertanyakan kenapa orang yang selama ini kita anggap baik, dan kebanyakan orang menganggap baik, ketika lu ingin mengenal baik dengan mereka, responnya berbeda.”

“Persis. Dan orang yang tadi pagi berkenan berbagi cerita ke gue itu gue pikir pasti dia menganggap gue orang baik. Barangkali.”

“Jody jody. Masih aja lu kek gini ye. Obrolan lu selalu aja berat.”

“Thanks Gi lu udah nyediain telinga lu buat dengerin cerita-cerita gue. Penting ga penting sih.”

“Jod, udah denger lagu ini belum. Fourtwnty Zona nyaman.” bagus Jod.

Pagi ke pagi kuterjebak di dalam ambisi
seperti orang-orang berdasi yang gila materi
rasa bosan
membuka jalan mencari peran
ke luarlah dari zona nyaman.

Malam itu piknik kecil dua sahabat dibiarkan meliar. Menikmati apa saja yang ada di dalam ruangnya. Jody berjuang menyelesaikan skripsinya. Beruntungnya dia, walau belum lulus sudah diterima kerja di salah satu koran lokal yang cukup bergengsi. Maka selain berjibaku dengan materi skripsi, dia juga sudah harus bergelut dengan tugas pekerjaan menjadi seorang wartawan.

***

Selambar roti tawar, kopi hitam sachet, powerbank, kamera, name tagg, block note, pulpen. Oke semuanya sudah masuk. Jody lintang pukang berlari menuju stasiun mengejar kereta kedua. Ia tak boleh terlambat tiba di lokasi untuk meliput berita besar hari ini. Kosan Jody terkubur dalam padatnya pemukiman di daerah Pasar Minggu membuat Jody jengah. Kemacetan yang tidak bisa dianulir membuat Jody harus berpikir jika harus membawa motor bebeknya untuk meliput hari ini.
Wajah sangar bang Matius berhamburan di otaknya.

“Waiyo. Bengong aja lu. Masih pagi juga. Liputan di mana lu?” Sambar gadis sporty dengan rambut kuncir kuda dari belakangnya.

“Apaan sih, Gi. Kebiasaan deh lu kalau ngagetin orang. Tumpah nih kopi gue. Ah lu mah.”

“Yah. sewot. nih.” Sambar Gi sambil menyodorkan tissu ke muka Jody.

“Bisa gila gue tiap naik kereta ketemu lu mulu.”

“Mang ngapa? ada masalah lo ama gue.”

“Iyalah. Tiap kali ketemu lo, gue harus berdiri satu kaki bege. Lagian kenapa nih kereta penuh mulu sih.”

“Ya ntar kan bisa gantian.”

“Gantian gimana?”

“Gantian berdiri lah bego.”

“Ya udah kaki lo angkat. Capek gue.”

“Dih ogah.”

“Katanya gantian.”

“Ya gantian kaki kanan lo sekarang yang diangkat. Biar kaki kiri yang berdiri.”

“Belum sarapan kan lu?”

“Belum.”

“Mangap. Ha!”

Sobekan roti selai coklat mendarat di mulut Jody.

“Mau lagi?”

“Minum. Gi gue hari ini bakal meliput politik.”

“Ckckck. Gila! akhirnya lu, cabut juga dari kriminal. Udah bosen lu ngeliput orang diperkosa?”

“Bacot lu! Gue bingung aja nih. Ini kali pertama gue liputan politik. Lu tahu kan bang Matius redaktur gue kan bagian ngeriview opini politik. Kalau angel berita gue mentah, mati gue dibijek ama paus hitam dari Bangka itu.”

“Gue udah nyampe. Ntar telpon aja Jod. Kayaknya gue juga bakal liputan ditempat yang sama ama lu.”

Dan bayangan Gie segera lenyap terhalang oleh kerumunan orang yang berdesak masuk ke dalam kereta.
Jakarta yang tidak pernah istirahat. Bahkan untuk menghirup udara segar pagi pun sudah harus berebut. Wajah-wajah letih, sumpah serapah, umpatan dan makian bak wijen di atas onde-onde. Tidak lengkap rasanya hidup di jalan Jakarta tanpa menemui hal itu. Ajaran tentang kesantunan tampaknya telah kurus tergerus oleh keegoisan kita sebagai manusia metropolis.Cacat norma itu kini telah diterima sebagai konsekuensi atas nama modernitas.

“Jod, jangan lupa turun di stasiun Jatinegara.”

Pesan Gie di Wa membuyarkan kecamuk pikiran Jody tentang kota yang ia tinggali kini.

***
Berjarak
————–

Senja kadang tak selalu menyenangkan. Tidak ada jingga, tak ada sunset. Makin terasa menjengahkan saat deadline pekerjaan mendadak maju tanpa bisa berkilah. Sementara orang di kubikel sebelah sudah memberesi berkas mereka lalu satu persatu meninggalkan meja-mejanya. Jody merasa hari ini begitu panjang. Otaknya sudah mampet untuk sekedar menyelesaikan rutinitas, tapi malah dipaksa menyelesaikan laporan.

Ia putuskan menghisap sebatang rokoknya. menghembuskannya ke langit-langit ruangan. Dibiarkan punggung liatnya tersandar ke kursi yang busanya telah pipih ditempa berat badannya. Handphonnya tiba-tiba berdering.

Nama Gie muncul di beranda panggilannya. Belum sempat ia jawab, panggilan itu keburu mati. Ternyata ada pesan masuk yang belum sempat Jody buka.

“Lama lu nggak ngasih kabar? sibuk amat lu. Gue jenuh nih.”

Dilengkapi dengan emot capek dan sedih plus jengkel.
Tetapi ketika Jody berusaha menghubunginya, nada sambung tidak aktif yang menjawab.

“Gue juga sama Gie.” gerutu Jody.

Usai menimang HP-nya sebentar, Jody lantas melemparnya ke meja berjalan menuju jendela di seberang. Kepalanya terasa begitu berat. Ia kembali menjentikan koreknya dan menyulut sebatang rokok. Asap kembali mengguar dari mulutnya. Lalu hilang tak berbekas dibawa angin
“Matematika hidup apalagi ini.” seringainya dalam hati

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑