Ayo, Bangkit Kembali Pers Mahasiswa

RahmatGerakan mahasiswa diakui kalangan aktivis telah kendur. Semangat mendobrak secara inovatif tidak lagi dimiliki. Apalagi karena belakangan idealisme mahasiswa dirasuki hedonisme dan konsumtifisme sehingga intelektualitas mereka menjadi tumpul. Dalam status qou seperti inilah Pers Mahasiswa (persma) diharap mampu menjadi motor gerakan mahasiswa yang kritis dan tidak anarki.

Sebagai lembaga kemahasiswaan yang bergerak di bidang jurnalistik Persma memang berpotensi menjadi katalisator pergerakan mahasiswa. Sebab, selain modal kritis mereka memiliki sarana membangun opini publik. Reni Panuju (2008) mengatakan, pers memiliki kekuatan mengajak pembaca dalam gerakan-gerakan sosial tertentu (social movements), seperti gerakan ekonomi, politik, lingkungan hidup, pendidikan, maupun perilaku positif lainnya.

Posisi Persma sebagai katalisator dapat diterjemahkan dari dua perspektif. Pertama, dengan kekuatan media yang dimilikinya Persma memiliki peran menggerakan massa. Karena itulah Persma senantiasa berada di garda depan pergerakan mahasiswa. Bahkan dalam percaturan politik kampus, pers seringkali dijadikan tempat ‘mengadu’ oleh mahasiswa yang tidak sepaham dengan kebijakan rektorat.

Namun, posisi strategis tersebut menjadi amat rentan friksi dengan pihak lain. Sebagaimana profesi pers pada umumnya, potensi friksi dapat terjadi dengan lembaga lain, termasuk rektorat dan lembaga mahasiswa lain, mahasiswa, maupun masyarakat luas. Meski menjadi lembaga komunitas Persma seringkali mendobrak ranah yang lebih luas untuk menjalankan fungsinya.

Membela siapa?

Dari sekian banyak potensi konflik yang senantiasa menyertai kiprah Persma, benturan dengan rektorat lah yang paling mungkin dan paling sering terjadi. Sebagai subsistem perguruan tinggi, Persma sering melakukan manuver yang bersinggungan dengan birokrat kampus. Maka konflik dengan rektorat pun tidak terhindarkan. Karena itulah Persma seringkali disebut sebagai ‘anak bengal’.

Namuan tentu saja, kebengalan Persma ditunjukkan dengan visi. Misalnya, saat diplomasi antar lembaga kampus gagal, Persma bertindak sebagai mediator untuk memperlancar komunikasi. Sama dengan fungsi pers pada umumnya, Persma dituntut berimbang dalam memberi pencerahan pada publik. Namun demikian, Persma tidak bisa melepasakan subjektifitasnya sebagai pengawal pergerakan mahasiswa. Pada posisi inilah wajar jika pers kampus menunjukkan kebengalannya.

Kebengalan pers kampus tidak dapat semata-mata diartikan sebagai pemberontakan. Justru hal itu perlu dilakukan untuk menjaga eksistensi mereka. Sebagai lembaga pers yang dimotori mahasiswa, pers kampus harus ‘mati-matian’ membela kepentingan mahasiswa. Justru pers kampus yang hanya diam dan duduk manis perlu dipertanyakan; mereka membela siapa?

Stigma bengal yang kerap dicapkan pada Persma menjadi bukti eksistensi dan komitmen mereka mengawal derap langkah mahasiswa. Ketika mahasiswa memiliki sebuah kepentingan bersama, Persma mengawal untuk meyakinkan bahwa kepentingan tersebut dapat diwujudkan. Bahkan ketika kepentingan tersebut berbenturan dengan birokrat kampus, Persma menempatkan diri sebagai pelantang suara. Sebagai lembaga yang bermain mengelola informasi publik, Persma dianggap lebih digdaya dibanding lembaga kemahasiswaan lain.

Sebagai prasyarat melakoni perannya sebagai pelantang suara mahasiswa, ada beberapa hal yang mesti dipenuhi. Setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki Persma agar sikap yang diambilnya atas nama mahasiswa tidak menjadi klaim sepihak. Pertama, Persma harus independen, bebas dari intervensi pihak manapun. Bahkan idealnya Persma menjadi organisasi yang mandiri. Kedua, memiliki kesamaan ideologi dengan mahasiswa. Ideologi ini menjadi penting ketika dijadikan dasar mengambil keputusan. Ketiga, akomodatif dalam berdiplomasi dengan pihak lain.

Dari ketiga prasyarat itu, hal pertama jelas paling sulit diwujudkan. Sebagai bagian dari sistem organisasi kampus, Persma kerap mendapat pengaruh dari luar. Tentu saja intervensi paling sering diterima dari birokrat kampus. Karena itulah, ketika kampus berusaha intervensi sedangkan Persma bertahan pada ideologinya, konflik vertikal Persma-Rektorat tak terhindarkan.

Salah satu alat birokrat kampus untuk ‘menyetir’ aktivitas Persma adalah dana. Ultimatum diberhentikannya subsidi biaya operasional kerap dilakukan birokrat kampus jika kebengalan Persma ‘keterlaluan’. Untuk urusan ini, jelas Persma keok. Meski berdiri selama puluhan tahun, Persma tidak pernah mandiri secara finansial.

Ketika persoalan dana menggoyah independensi Persma, sebenarnya pernah mengemuka wacana mewujudkan Persma yang mandiri. Caranya, Persma mencari dan mengelola sendiri biaya operasionalnya. Memang amat sulit dilakukan, namun kemungkinan tersebut masih terbuka manakala Persma mampu membangun divisi perusahaannya lebih mapan.

Sangat disayangkan jika pergerakan Persma terhenti hanya karena persoalan dana. Padahal media yang dilahirkan Persma bisa menjadi alternatif di tengah maraknya media umum yang berorientasi bisnis (profit oriented). Dalam konteks ini menjaga independensi Persma sama pentingnya dengan menjaga eksistensi Persma itu sendiri.

 

*Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Unnes Semarang. Pimred portalsemarang.com, penulis buku Melawan Kuasa Perut. Surahmat, Redaktur Pelaksana Tabloid Nuansa BP2M Unnes

(artikel ini juga pernah diterbitkan di Halaman Kampus Suara Merdeka, Sabtu 21 November 2009)

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑