Mudik Menghayati soal Sangkan Paran

Gunawan Budi S.Pada pengujung Ramadan selalu berlangsung “ritual” tahunan: mudik! Bermacam alasan bagi seseorang untuk mudik saat lebaran. Namun bagi kebanyakan orang, mudik bukan perkara gampang. Mereka mesti menabung dan secara cermat mengelola uang agar selamat sampai ke kampung halaman. Apa yang mereka cari? Apa yang mereka rasakan, ketika berkehendak segenap daya untuk mudik? Apa pula yang mereka rasakan, bila lantaran berbagai hal, tak bisa pulang?

Mungkin ada yang bilang, mudik sia-sia dan pemborosan. Berapa duit mesti terbuang dari jutaan pemudik untuk keperluan konsumtif yang kontraproduktif? Berapa energi sosial yang melenyap nyaris percuma untuk menggapai kegembiraan semu: berlagak sukses di mata saudara dan kerabat sedesa?

Hitung pula uang dan energi yang harus dikeluarkan negara: menyediakan prasarana dan sarana transportasi darat, laut, dan udara, serta segala tetek bengek administrasi dan manajemen keamanan. Sungguh tak seimbang.

Benarkah? Bukankah itu sinisme berlebihan? Lantaran hidup tak bisa semata-mata dihitung berdasar uang yang dikeluarkan bukan?

Mudik adalah pulang, kembali ke udik. Tak berlebihan bukan bila, misalnya, mudik dimaknai sebagai upaya mengenali sangkan paran: dari mana berasal, ke mana bakal kembali. Mungkin itu pemaknaan artifisial, banal: yang merantau, lama meninggalkan desa asal, sesaat kembali. Boleh jadi cuma untuk merasakan lagi atmosfer kesilaman atau merunut kembali jejak masa lalu. Namun apa salahnya?

Ya, apa salahnya bila itu berarti seseorang berupaya mengenali lagi jati diri — yang mungkin selama ini terlupakan oleh kesibukan. Lalu, menjadi bekal untuk menyiangi nurani dari kekotoran dan kebusukan sehingga ketika balik ke kota, ke perantauan, jiwa pun kembali bersih, kembali jernih.

Maka, jika itulah yang berlangsung, mudik adalah jeda sejenak dari kehidupan ning paran untuk bisa kembali melangkah sesuai dengan fitrah sangkan, asal-muasal. Mudik adalah upaya kembali ke asal, kembali ke kesucian. Dan, ketika pulang: menyadari benar betapa hidup tak sendiri, betapa setinggi apa pun, sebesar apa pun, setenar apa pun, manusia toh cuma manusia.

Mudik menjadi tak hanya mobilitas keruangan, tetapi juga mobilitas keberagamaan. Mudik menjadi momen spiritual untuk menakar asal-muasal kemakhlukan di hadapan Tuhan.

Gunawan Budi Susanto wartawan Suara Merdeka, penulis buku Nyanyian Penggali Kubur.

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑